“lek..emak kok gak pernah mendengarmu mengaji?” Tanya Emak suatu saat, saat aku sarapan sebelum berangkat ke kampus seperti biasa
Aku menghembuskan nafas pelan, malas sekali menjawabnya.
“ Emak kan tau alasannya” jawabku asal sembari memasukkan sepotong tempe goreng ke dalam mulutku.
“ apa iya…kuliahmu itu ngajarin kamu jauh dari Tuhan? Masa baca Al-qur’an saja jadi malas..?”
Aku meneguk air putih hangatku dengan enggan. Rasanya kesal mendengar pertanyaan emak yang selalu saja sama tentang itu, sering kali dan tak pernah berubah.
“ Emak..?! sekarang itu yang penting konteksnya. Cuma ngaji saja gak kan cukup..kapan kita mau maju kalau begitu? Yaa kalau diamalkan? Kalau gak? Kan sia-sia saja….lagian kayak tau artinya saja dibaca terus..???
“ astaghfirulloh..eling Nak..istighfar..!! kata siapa mengaji itu gak ada gunanya? Cara kita mendekat sama Gusti pangeran ya dengan mengaji itu…kita itu gak ada apa-apanya dibanding Tuhan lek..!!jangan takabur! Qur’an kitab suci kita…bisa-bisanya kamu menyepelekan seperti itu…mau jadi apa kamu nanti?? Kalau begitu..mendingan kamu gak usah kuliah…tambah pinter malah tambah nyeleneh..”
Aku mendenguskan nafasku…tak ingin meneruskan perdebatan dengan Emak,takut-takut malah menyakitinya. Biarlah pola pikir kita yang berbeda. Bagaimanapun itu hanya gertakan emak. Dulu emak yang merongrongku untuk kuliah karena setelah lulus SMA awalnya aku ingin bekerja saja membantu emak yang sendiri tanpa bapak, menghidupi aku dan adikku yang autisme. Tapi emak melarang, ingin aku jadi sarjana agar nantinya hidupku mapan, lebih baik dari orang tuaku. Tidak mungkin hanya karena sekarang pola pikirku yang sedikit menyimpang darinya, dia memaksaku keluar dari bangku kuliah. Biar emak kecewa, bagaimanapun aku tahu yang terbaik buat diriku.
###
Sayup-sayup terdengar suara serak emak melantunkan ayat suci al-qur’an dari dalam rumah kami yang bertembok kayu dan mulai banyak berlubang dimakan rayap. Aku menjejakkan kakiku yang letih dengan gontai memasuki rumah, kemudian menjatuhkan diri di atas kursi rotan yang sama sekali tidak empuk untuk sekedar menghilangkan sedikit penatku. Jam usang berdebu yang bertengger di dinding dekat foto keluarga yang juga tak kalah kotornya menunjukkan angka 6 lebih 25 menit. Sudah jadi kegiatan rutin emak seusai maghrib mengaji sendiri di rumah. Adikku pasti sedang di langgar mengaji dengan Bang Roqib, kyai muda di komplek rumahku. Meski autis dan berbeda dengan anak normal lainnya adikku masih dianugerahi Tuhan mau dan bisa membaca al-quran. Aku yakin Bang roqib harus sangat sabar menghadapinya karena itulah emak sangat berterimakasih padanya dan sering menjamunya di rumah. Karena memang aku,anak laki-laki pertamanya yang sibuk di kampus dan kerja sambilan tak kan pernah sempat dan mau mengajari adikku yang tidak normal itu membaca al-qur’an. Aku teringat saat masih seumuran adikku, umur 8 tahun senang sekali menenteng Qur’an ke langgar sehabis maghrib. Puas bersorak saat aku berhasil menghafal setengah dari jus 30. tapi sekarang? Aku saja lupa kapan terakhir aku memegang Al-qur’an..hafalanku saja sudah raib entah kemana. Ahh..untuk apa? Fikirku. Mengaji tidak akan membuatku kaya atau makmur. Nyatanya rumahku masih seperti ini sejak kau kecil. Bapakku yang meninggal sejak aku SMP tidak meninggalkan warisan apa-apa untuk kami. Sekarang, aku tetaplah mahasiswa yang terlunta-luanta mempertahankan bangku kuliahku diiringi keringat dan darah emak. Mengaji tidak akan membuatku jadi lebih baik. Karenanya aku malas..
“ lho..sudah pulang lek..?” pertanyaan dari bibir emak yang bergetar dan kering membuyarkan lamunanku. Ia berdiri di pintu kamarnya yang berkorden usang, memandangku denagn lembutnya.
“ sudah shalat maghrib?”
“ sudah mak..” sahutku sembari beranjak menuju kamar di sis \i kamar emak, rasanya lelah sekali. Sebelum emak memberobdongku dengan banyak pertanyaan lebih baik aku melarikan diri tidur di kamarku.
“sudah makan belum? Itu ada makanan di dapur kalau belum..” kata emak lagi. Meski aku cuek, dia tetap dengan pola kasihnya.
“sudah ko mak..” jawabku lagi sambil lalu ke dalam kamarku dan menutupnya hingga suara emak tenggelam di balik pintu.
Bukan. Bukan aku tak mau berbicara banyak dan tidak ingin menggubris perhatian emak sepertinya memang aku sudah jarang berkomunikasi denagn satu-satunya orang tuaku yang paling berjasa dan penuh cinta itu. Tapi aku memang sengaja. Banyak idealismeku yang kini bertolak belakang denagn emak dan hanya akan menimbulkan percek-cokan tang tidak berujung. Emak sangat religius dan aku lebih bersikap liberal. Aku sayang padanya, karena itu menghindari yang akan membuatnya semakin kecewa padaku. Emak memendam begitu banyak kekecewaan, tapi dia lebioh banyak diam dan tahu batasan untk tidak menuntutku. Dia mengerti.
Dari dalam kamar, antara sadar dan tidak karena kantuk, lagi-lagi lantunan ayat suci itu terdengar dari kamar emak.
###
“, Bang…aku mau ikut lomba tilawah qur’an…” Suara cempreng dan terbata-bata adikku menggangguku yang sedang mengetik tugas kuliahku dengan komputer butut di dalam kamar. Adikku duduk disisi ranjangku dengan lollipop murahan di tangannya dan senyum mengembang, memamerkan giginya yang kotor dan jarang-jarang. Aku tetap saja serius dengan layar komputerku, tak perduli dengannya.
“ Bang..!!” dia menuntutku.
Aku menghela nafas kesal “ iya..!”ujarku sekenanya tanpa menoleh.
Melihatku yang acuh, tanpa ekspresi. Diapun beranjak pergi keluar kamarku yang kemudian disusul kemunculan emak di ambang pintu yang berderak-derak hampir rusak.
“ kamu itu ya..??heran emak sama kamu, masa begitu cueknya sama adik…?”hanya itu yang emak ucapkan sembari memeluk adik autisku yang meringkuk manja di pinggangnya. Kutangkap kedalaman makna dari sindiran halusnya, kekecewaan pada keacuhanku. Kalau adikku ikut lomba sains, IPA, Matematika, membuat robot, atau apa untuk kemajuan bangsa dan menghasilkan banyak uang pasti aku senang dan mendukung, tapi ini hanya tilawah Qur’an, itu sepele dan tak membuatku tertarik. Bukan salahku kalau aku acuh, toh aku tak bisa membayangkan adikku membaca Al-qu’an, seperti apa jadinya.
###
Emak sakit, sudah beberapa hari semakin kurus dan sepertinya penyakitnya semakin parah. Tapi dia masih saja melantunkan ayat suci Al-qur’annya walaupun kadang suaranya terdengar sangat lemah dan patah-patah.
“ tidak ada yang bias membuat emak tenang..selalu pasrah pada ketentuan ALLAh selain dengan membaca Qur’an lek…” tukasnya ketika kau menyuruh berhenti membaca agar ia beristirahat.
Bahkan emak pun memintaku membacakan untuknya, meski enggan tapi aku tetap menurutinya. Ntah kenapa akhir-akhir ini aku begitu takut kehilangan emak, aku takut emak menyusul bapak. Tidak! Aku tidak akan siap.
“ lek… suaramu bagus..enak kalo membaca Al-qur’an.. tapi kok kamu gak pernmah mau membaca lagi to..??? apa kamu sudah merasa cukup dengan ilmu-ilmu dari kuliahmu itu?? Emak gak pengen kamu jadi presiden atau ilmuwan nak…cukup kamu mapan, juga solekh..emak sudah bangga..biar bias jadi celengan emak di syurga”
Emak mengelus rambutku yang cak-acakan. Aku tertunduk, tak mampu berkata apa-apa atau mendebatnya seperti biasa. Bibirku terasa kelu, kata-katanya benar-benar membuatku semakin takut. Adikku berbaring disisi emak, tangannya memeluk tubuh kurus emak dengan erat seolah tak ingin melepasnya sedetik saja. Ku rasa dia merasakan hal yang sama denganku. Ingin rasanya aku membawa emak keRS untuk berobat hingga sembuh tapi lagi-lagi biaya jadi kendala.
“ kita tak perlu muluk-muluk untuk mendekat pada Allah..tidak perlu tau artinya dulu sebelum membaca Qur’an..kepintaran kita itu seberapa to lek..?? kuasaNYa juga seberapa..?? gak perlu ngoyo mengamalkan semuanya..yang penting usaha sedikit-sedikit..dibaca dengan ikhlas..gak mengaharapka apa-apa selain kedekatan dengan Allah..insyaAllah gak ada yang sia-sia. Wong Allah tau maksud kita itu apa sebelum kita memberi tahu-Nya”
Aku menjatuhkan kepalau di atas tangan tirus pucat emak, menciumnya dengan takzdim..ketakuatan itu semakin mengerogoti dadaku..dan tanpa sadar aku meneteskan beberapa butir air mata.
###
1 bulan semenjak emak terbaring lemah… aku dan adikku benar-benar kehilangan dia. Sepulang kuliah dan kerja sambilan, dengan badan yang masih letih, adikku menarikku cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Ia menangis keras sembari menunjuk sosok emak yang terkulai kaku diatas dipannya. Emak masih memeluk Qur’an yang usang karena terlalu sering ia baca di atas dada kurusnya yang sudah tak naik-turun seiring dengan nafasnya yang sudah berhenti. Aku gemetar mendekat, mengambil kitab suci itu dari tangannya yang dingin dan memeluknya dengan tangis tanpa suara. Aku mencium keningnya yang halus dan terdapat bekas hitam karena seringnya ia bersujud. Emak yang kuat dan begitu sering tanpa lelah mengenalkannku pada Tuhan,akhirnya di panggil-Nya. Dengan suara serak karena kerongkonganku terasa tercekik aku mengajak adikku mengambil wudhu dan membacakan surat Yassin, mengantar kepergian emak. Bagaimanapun sebagai anak tertua aku harus kuat dan menguatkan adikku yang terus menangis dengan kepolosannya. Hatiku terasa tertetesi embun ketika aku membaca ayat demi ayat seolah kepergian emak bukanlah ambang dari kehancuraku yang kini sendiri dengan adikku, aku merasa dekat dengan-Nya. Inilah hal sederhana yang selalu emak tegaskan padaku, membaca ayat cinta Tuhan bagaimanapun hidup ini akan diatur-Nya. Mulai detik semenjak aku sadar akan setiap nasehat indah yang selau kuacuhkan…aku akan berjanji melaksanakannya..mengikuti setiap kata emak untuk mencintai Al-qur’an karena memang tak ada yang membuatku tenang selain itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar