Panas berdenyar-denyar membakar kulit. Di luar sana,
daun-daun pohon jambu jatuh satu per satu. Tiga ekor kumbang hitam
bercinta dengan tetesan air dari balkon yang sejak setahun lalu
tersumbat. Panas garang tidak ada bedanya. Dari ujung balkon itu, air
hujan sisa kemarin tetap berderai.
Laki-laki masa lalu itu, berbaring diam. Dia masih
bermain-main dengan si Orhan kecil. Sejak pagi, bersama Orhan dia
menyetubuhi jalan-jalan utama Istanbul itu. Khusuk, hening dan diam,
seperti biasanya.
Siang baru saja datang. Tapi bau purnama sudah
tercium sejak tadi. Malam nanti adalah hari ketiga belas dalam bulan
ini. Dangau kecil belum kami perbaiki. Dari sela atap rumbianya, kita
bisa menikmati bintang.
Orhan tidak bisa berhenti. Dia melompat dari satu
jalan ke jalan lainnya. Kadang Orhan membayangkan ada Orhan yang lain di
luar sana. Seperti memandang lukisan hitam putih, Orhan memandang
Istanbul. Buram dan tidak dimengerti.
Dia mengoceh sendiri. Saya duduk tubir beranda
dangaunya. Seperti dia, juga diam. Asyik mamainkan rambut yang mulai
panjang. Dua kucing warna kuning berkelahi berebut tulang di depan
pintu. Mengeong panjang. Menakutkan.
Baiknya saya kenalkan dia. Walau sering saya
ceritakan, belum sekali pun saya sebutkan namanya. Dia punya banyak
nama, namun bagi saya dia adalah Che yang kesepian.
Di kampung, dia dipangil Hujan. Saudara-saurannya
mengenal sebagai Hafid. Saya juga pernah tahu, dia diimbau Camar.
Sebelumnya, juga ada Aga. Entah kenapa dia suka mengubah nama.
Aku ingin mengubur masa lalu. Kata itu pernah diucapkannya 9 tahun lalu. Waktu itu dia baru dikenal sebagai Hafid dan Camar.
Sedang saya, tidak perlu diceritakan. Saya sudah
ungkap sedikit kisah di laman ini. Jika anda sabar, ada banyak cerita
tentang kami. Bagaimana asal usul kami. Takdir apa yang mempertemukan
saya dengan laki-laki masa lalu itu. Laki-laki daun lontar.
Siang makin tinggi. Panas tidak segarang tadi. Waspadai El Nino, judul koran tiga hari lalu.
Alam ini sudah rusak. Kita pelakunya. Bukan
kebodohan, karena kita tidak punya itu. Tapi keserakahan yang naif. Kamu
jangan herankan panas. Dia akan tetap seperti ini untuk waktu yang
lama. Ini bukan akhir, bahkan awal saja belum dimulai.
Aha.. Kamu sudah menjadi ahli astronomi kiranya. Saya
candai dia. Namun tidak ada lagi jawaban. Saya mahfum, dia kembali
menggeluti Orhan.
Bosan menunggu dia lontarkan pernyataan sarkas, saya
memilih berdiri. Mencabuti duri-duri yang menusuk-nusuk awan. Langit
mulai gelap. Di ufuk barat, mega merah muda menyungkup laut.
Burung-burung pulang. Sekawanan murai batu berkicau nyaring mengabarkan
malam.
Purnama sudah hampir penuh, 13 Ramadhan malam ini.
Saya tidak bisa pejamkan mata. Angin mendesau mengusik telinga saya.
Dari dangau sebelah, lamat-lamat terdengar suara seraknya menirukan duo
vokal Pasto, Rayen dan Meeltho menyenandungkan Aku Pasti Kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar